Para
wanita calon penghuni surga, wanita yang paling mulia dan utama, istri dari
manusia yang paling mulia dan utama. Merekalah ummahatul mukminin, teladan
setiap wanita pecinta akhirat. Gambaran akhlak mereka kala suami tercinta menjadi
“pengantin baru” bisa kita lihat dari hadits berikut ini. Anas radhiyallahu
‘anhu menceritakan,
أَوْلَمَ رَسُوْلُ اللهِ حِيْنَ بَنَى بِزَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ– فَأَشْبَعَ
النَّاسَ خُبْزاً وَلَحْمًا، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى حُجَرِ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ
كَماَ كَانَتْ يَصْنَعُ صَبِيْحَةَ بِنَائِهِ، فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِنَّ وَيَدْعُوْ
لَهُنَّ وَيُسْلِمْنَ عَلَيْهِ وَيَدْعُوْنَ لَهُ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah saat
pernikahannya dengan Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha. Beliau
mengenyangkan orang-orang yang hadir dengan roti dan daging. Kemudian beliau
keluar menuju bilik-bilik ummahatul mukminin sebagaimana kebiasaan beliau di
pagi hari dari malam pengantin beliau. Beliau mengucapkan salam kepada mereka
dan mendoakan mereka. Para istri beliau pun membalas salam beliau dan mendoakan
kebaikan untuk beliau….” (HR. Al-Bukhari No. 4794)
Dalam sebuah riwayat al-Bukhari (No. 4793) disebutkan,
Dalam sebuah riwayat al-Bukhari (No. 4793) disebutkan,
فَخَرَجَ النَّبِيُّ فَانْطَلَقَ إلَى حُجْرَةِ عَائِشَةَ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ وَرَحْمَةُ اللهِ. فَقَالَتْ: وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ، كَيْفَ وَجَدْتَ أَهْلَكَ؟ بَارَكَ اللهُ لَكَ. فَتَقَرَّى حُجَرَ نِسَائِهِ كُلِّهِنَّ يَقُوْلُ لَهُنَّ كَمَا يَقُوْلُ لِعَائِشَةَ، يَقُلْنَ لَهُ كَمَا قَالَتْ عَائِشَةُ.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari tempat pengantinannya dengan Zainab radhiyallahu ‘anha menuju bilik Aisyah radhiyallahu ‘anha seraya berkata, “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah, wahai istriku!” Aisyah menjawab, “Wa ‘alaikas salam wa rahmatullah. Bagaimana istri Anda? Semoga Allah memberkahi Anda.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi satu persatu seluruh bilik istrinya, mengucapkan seperti yang beliau ucapan kepada Aisyah dan semua mereka berucap sebagaimana ucapan Aisyah.
Betapa indah akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan istri-istri beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat beroleh istri yang baru dan menikmati bulan madunya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melupakan istri-istri yang lain. Di pagi hari dari malam pengantinnya, beliau menyempatkan menjenguk istri-istrinya, mengucapkan salam keberkahan, dan melantunkan doa kebaikan untuk mereka, sehingga mereka merasakan bahwa suami mereka tetap memberikan perhatian dan tidak melupakan mereka meski baru saja beroleh istri yang baru.
Kebagusan akhlak sang suami dibalas dengan keindahan pula oleh para istri
beliau. Tidak ada kemarahan yang dimuntahkan dan kebencian yang ditumpahkan,
yang ada hanya senyuman manis dan kata-kata indah nan memikat, “Bagaimana istri
barumu? Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberikan keberkahan kepadamu, wahai
suamiku.” Benar-benar menyejukkan hati….
Lama Suami Berdiam Bersama Istri Barunya
Syariat
Islam telah menetapkan jangka waktu suami menemani istri barunya untuk tujuan pendekatan,
mengenal lebih jauh, menghilangkan kekakuan, merekatkan cinta, dan lain
sebagainya, sehingga mendapatkan istri baru tidak berarti si suami terus
bersamanya.
Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,
السُّنَّةُ
إِذَا تَزَوَّجَ الْبِكْرَ أَقَامَ عِنْدَهَا سَبْعًا، وَإِذَا تَزَوَّجَ
الثَّيِّبَ أَقَامَ عِنْدَهَا ثَلاَثًا.
“Yang (diajarkan dalam) sunnah, apabila seorang lelaki menikahi gadis
sedangkan ia sudah memiliki istri, ia tinggal bersamanya selama tujuh hari/
malam. Apabila ia menikahi janda sedangkan ia punya istri yang lain, ia tinggal
di sisi istri barunya yang janda tersebut selama tiga hari.” (HR. Al- Bukhari
No. 5213 dan Muslim No. 3611)
Setelah itu, dia membagi giliran (di antara istri-istrinya). (HR. Al-Bukhari No. 5214)
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menikah dengan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau tinggal di sisinya selama tiga hari. Ketika beliau hendak meninggalkannya menuju istri beliau yang lain, Ummu Salamah memegang pakaian beliau, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan pilihan,
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menikah dengan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau tinggal di sisinya selama tiga hari. Ketika beliau hendak meninggalkannya menuju istri beliau yang lain, Ummu Salamah memegang pakaian beliau, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan pilihan,
إِنْ شِئْتِ سَبَّعْتُ لَكِ، وَإِنْ سَبَّعْتُ لَكِ سَبَّعْتُ لِنِسَائِي
“Apabila engkau mau, aku akan menggenapkan tujuh hari bersamamu. Namun,
kalau aku memberikan waktu tujuh hari denganmu, berarti aku juga harus
memberikan tujuh hari untuk istri-istriku yang lain.”(HR. Muslim No. 3606)
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (4/19) mengatakan, “Ketetapan ini mengandung beberapa hal, di antaranya adalah wajib membagi giliran dari awalnya, yaitu ketika seorang lelaki menikahi seorang gadis sementara dia sudah memiliki istri yang lain, ia tinggal di sisi istri barunya selama tujuh hari; setelah itu ia menyamakan giliran di antara kedua istrinya.
Apabila yang dinikahinya adalah seorang janda, ia memberikan pilihan
kepada si istri: waktu tujuh hari berdiam bersamanya kemudian ia mengqadha
waktu tersebut untuk istri-istri yang lain, atau ia tinggal selama tiga hari
bersama si istri dan waktu tiga hari itu tidak dihitung (setelah tiga hari,
baru perhitungan giliran dengan istri-istri yang lain dimulai). Ini adalah pendapatkebanyakan
para ulama.”
Al – Imam an – Nawawi rahimahullah menyatakan, hadits ini menunjukkan
bahwa istri yang baru dinikahi diutamakan daripada yang lainnya (istri lama).
Apabila ia gadis, haknya adalah tujuh hari tujuh malam tanpa qadha. Apabila
janda, ia diberi pilihan. Apabila ia menginginkan tujuh hari, berarti tujuh
hari ini akan diqadha untuk istri-istri yang lain.
Namun, apabila ia mau, tiga hari tidak akan ada qadha. Ini adalah mazhab al-Imam asy- Syafi’i dan pendapat al-Imam Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Ibnu Jarir, dan jumhur ulama. Abu Hanifah, al-Hakam, dan Hammad mengatakan, “Wajib qadha untuk seluruhnya pada janda dan gadis, berdalil dengan zahir nash yang menyuruh berlaku adil di antara para istri.
Adapun argumen al-Imam asy- Syafi’i (dan yang lainnya dari kalangan jumhur, -pent.), hadits-hadits tersebut mengkhususkan zahir nash yang umum yang memerintahkan berlaku adil.” (Al-Minhaj, 9/286)
Namun, apabila ia mau, tiga hari tidak akan ada qadha. Ini adalah mazhab al-Imam asy- Syafi’i dan pendapat al-Imam Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Ibnu Jarir, dan jumhur ulama. Abu Hanifah, al-Hakam, dan Hammad mengatakan, “Wajib qadha untuk seluruhnya pada janda dan gadis, berdalil dengan zahir nash yang menyuruh berlaku adil di antara para istri.
Adapun argumen al-Imam asy- Syafi’i (dan yang lainnya dari kalangan jumhur, -pent.), hadits-hadits tersebut mengkhususkan zahir nash yang umum yang memerintahkan berlaku adil.” (Al-Minhaj, 9/286)
Waktu tiga atau tujuh hari tersebut harus berturut-turut, tidak boleh
terpotong. Seandainya terpotong maka waktu yang terpotong itu tidak terhitung2.
(Fathul Bari, 9/392)
Tidak Boleh Mempersyaratkan Dicerainya Istri yang Lain
Ada wanita yang bersedia dinikahi oleh seorang lelaki yang telah beristri
dengan syarat si lelaki menceraikan istrinya yang lama. Persyaratan seperti ini
dilarang dalam syariat karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidak boleh seorang wanita meminta seorang lelaki agar menceraikan saudarinya4
agar ia bisa memenuhi piringnya sendiri dan mengosongkan yang lain.5 Hendaknya
ia menikah saja karena ia hanya beroleh apa yang telah ditetapkan/ditakdirkan
untuknya.” (HR. Al-Bukhari No. 5152 dan Muslim). Ini adalah persyaratan yang tidak halal dalam pernikahan.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak boleh seorang wanita
mempersyaratkan (ketika ia hendak dinikahi oleh seorang lelaki yang telah
beristri) agar saudarinya tersebut dicerai.” (Diriwayatkan al-Bukhari secara mu’allaq, “Kitab an-Nikah”, bab
“asy-Syuruth al-Lati La Tahillu fin Nikah”)
Hadits ini berisi larangan bagi wanita ajnabiyah untuk meminta seorang
lelaki menceraikan istrinya, baru kemudian menikahinya sehingga beralihlah
nafkah suami, pergaulannya, dan hal-hal lainnya hanya kepadanya. (Fathul Bari, 9/274)
Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyatakan, “saudarinya” yang
disebut dalam hadits adalah madunya. Jadi, tidak pantas seorang istri meminta
suaminya menceraikan madunya sehingga tinggallah dia sendiri (tanpa pesaing). (Fathul Bari 9/275, Tuhfatul Ahwadzi, “Kitab
ath-Thalaq wal Li’an”, bab “Ma Ja’a La Tas’alu al-Mar’ah Thalaqa Ukhtiha”)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
v
BalasHapus