BERSIKAPLAH ADIL, WAHAI SUAMI!
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
bersabda,
مَنْ كَانَ
لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَشِقُّهُ
مَائِلٌ
“Siapa
saja orangnya yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah
satunya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya
miring.”
Takhrij Hadits Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (No. 2133), An-Nasa’i (2/157), Tirmidzi (1/213), Ad-Darimi (2/143), Ibnu Majah (1969), Ibnu Abi Syaibah (2/66/7), Ibnul Jarud (No. 722), Ibnu Hibban (No. 1307), Al-Hakim (2/186), Al-Baihaqi (7/297), Ath-Thayalisi (No. 2454), dan Ahmad (2/347, 471) melalui jalur Hammam bin Yahya, dari Qatadah, dari An-Nadhr bin Anas, dari Basyir bin Nuhaik, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma.
Takhrij Hadits Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (No. 2133), An-Nasa’i (2/157), Tirmidzi (1/213), Ad-Darimi (2/143), Ibnu Majah (1969), Ibnu Abi Syaibah (2/66/7), Ibnul Jarud (No. 722), Ibnu Hibban (No. 1307), Al-Hakim (2/186), Al-Baihaqi (7/297), Ath-Thayalisi (No. 2454), dan Ahmad (2/347, 471) melalui jalur Hammam bin Yahya, dari Qatadah, dari An-Nadhr bin Anas, dari Basyir bin Nuhaik, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma.
Di dalam
Sunan at-Tirmidzi, hadits di atas diriwayatkan dengan lafadz,
إِذَا
كَانَ عِنْدَ الرَّجُلِ امْرَأَتَانِ فَلَمْ يَعْدِلْ بَيْنَهُمَا جَاءَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ سَاقِطٌ
“Apabila seorang laki-laki memiliki dua istri namun tidak berlaku adil di
antara keduanya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian
tubuhnya miring.”
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Al-Hakim menghukumi hadits ini sahih berdasarkan syarat asy-Syaikhain (al-Bukhari & Muslim). Adz-Dzahabi dan Ibnu Daqiqil ‘Ied sepakat dengan al-Hakim, sebagaimana dinukilkan oleh al-Hafizh dalam at-Talkhis (3/201) dan beliau pun menyepakatinya.
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Al-Hakim menghukumi hadits ini sahih berdasarkan syarat asy-Syaikhain (al-Bukhari & Muslim). Adz-Dzahabi dan Ibnu Daqiqil ‘Ied sepakat dengan al-Hakim, sebagaimana dinukilkan oleh al-Hafizh dalam at-Talkhis (3/201) dan beliau pun menyepakatinya.
Al-Hafizh menambahkan bahwa al-Imam at-Tirmidzi menghukumi hadits ini
gharib padahal beliau sendiri menyatakannya sahih. Abdul Haq mengatakan,
‘Hadits ini tsabit, namun ada cacatnya, yaitu Hammam sendirian
meriwayatkannya.’
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Cacat semacam ini tidak membuat hadits
menjadi lemah. Oleh karena itu, para ulama secara berturut-turut menyatakannya
sahih.” (Silsilah ash- Shahihah No. 2017, al-Albani)
Islam Menjunjung
Nilai-Nilai Keadilan
Islam sangat menjunjung nilai-nilai keadilan. Bahkan, keadilan menjadi salah satu pilar penting bagi seorang hamba untuk mewujudkan bangunan Islam. Sikap adil, menurut asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah, adalah menunaikan hak-hak yang wajib dan memenuhi hak bagi yang memilikinya.
Ada juga yang memaknai adil sebagai sikap menentukan hukum sesuai dengan Kitabullah
dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,, bukan semata-mata
berdasarkan akal pikiran. Dalam memutuskan perkara, keadilan mesti menjadi
landasan berpijak. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
إِذَا حَكَمْتُمْ فَاعْدِلُوْا
“Apabila kalian memutuskan hukum maka bersikaplah adil!” (Dinyatakan
hasan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah [No. 469])
Bahkan, bagi orang tua, sikap adil haruslah mendasari setiap perhatian kepada anaknya. Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu pernah bercerita, “Aku pernah diberi sesuatu oleh ayahku. ‘Amrah bintu Rawahah (ibunya) lantas berkata (kepada ayahku), ‘Aku tidak rela (dengan pemberian ini) sampai engkau meminta persaksian dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,.’ Lantas ayahku menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menyampaikan, ‘Sesungguhnya aku memberi sesuatu kepada salah seorang anakku, anak dari ‘Amrah bintu Rawahah. Amrah menuntutku untuk meminta Anda sebagai saksi, wahai Rasulullah.’ Rasulullah bertanya, ‘Apakah engkau memberi seluruh anakmu seperti yang engkau berikan kepada anak itu?’ Ayahku menjawab, ‘Tidak.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
اعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ فَاتَّقُوا اللهَ وَ
‘Bertakwalah kalian kepada Allah dan bersikaplah adil di antara anakanak
kalian!’
Akhirnya ayahku pulang dan mengambil kembali pemberian itu.” (HR. Bukhari 5/2587)
Mengenai bentuk-bentuk keadilan, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al- ‘Utsaimin rahimahullah pernah menjelaskannya berkenaan dengan ayat Allah Subhanahu wata’ala di dalam surat an-Nahl, yaitu firman-Nya,
Akhirnya ayahku pulang dan mengambil kembali pemberian itu.” (HR. Bukhari 5/2587)
Mengenai bentuk-bentuk keadilan, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al- ‘Utsaimin rahimahullah pernah menjelaskannya berkenaan dengan ayat Allah Subhanahu wata’ala di dalam surat an-Nahl, yaitu firman-Nya,
“Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat. Dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(QS An-Nahl: 90)
Beliau rahimahullah menerangkan , “Kewajiban hamba adalah bersikap adil terhadap diri sendiri, keluarga, dan orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Bersikap adil terhadap diri sendiri artinya tidak memaksakan diri untuk melakukan hal-hal yang tidak diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Bahkan, ia pun harus memerhatikan diri sendiri saat melakukan kebaikan,
dengan cara tidak melakukannya melebihi batas kemampuan. Oleh sebab itu, saat
Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma menyatakan, ‘Aku akan berpuasa
terus dan tidak akan berbuka. Aku akan shalat malam terus dan tidak akan
tidur’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, memanggilnya dan melarang hal
itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‘Sesungguhnya dirimu sendiri memiliki hak, Rabbmu juga memiliki hak, dan keluargamu pun memiliki hak. Maka dari itu, berikanlah hak masing-masing.’
‘Sesungguhnya dirimu sendiri memiliki hak, Rabbmu juga memiliki hak, dan keluargamu pun memiliki hak. Maka dari itu, berikanlah hak masing-masing.’
Demikian juga seorang suami, ia harus bersikap adil di tengah-tengah keluarga. Siapa saja yang memiliki lebih dari satu istri, ia harus bersikap adil di antara para istrinya. Sebab, seorang suami yang lebih cenderung kepada salah satu istri, ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan miring sebelah tubuhnya.
Sikap adil juga wajib diwujudkan di antara anak-anak. Jika Anda memberi
satu real kepada salah seorang di antara mereka, berikan juga senilai itu
kepada yang lain. Jika engkau memberi dua real kepada anak laki-laki,
berikanlah satu real kepada anak perempuan. Jika engkau memberikan satu real
kepada anak laki-laki, berikanlah setengah real kepada anak perempuan.
Bahkan, ulama salaf memerhatikan sikap adil di antara anak-anak dalam hal ciuman. Jika ia mencium anaknya yang masih kecil sementara kakaknya ada di situ, ia pun menciumnya juga. Jadi, ia tidak membeda-bedakan di antara mereka dalam hal ciuman.
Bahkan, ulama salaf memerhatikan sikap adil di antara anak-anak dalam hal ciuman. Jika ia mencium anaknya yang masih kecil sementara kakaknya ada di situ, ia pun menciumnya juga. Jadi, ia tidak membeda-bedakan di antara mereka dalam hal ciuman.
Demikian juga dalam hal berbicara, jangan sampai Anda berbicara dengan seorang anak dengan nada yang kasar,
sedangkan kepada anak yang lain dengan nada yang lembut. Sikap adil harus juga
dijunjung kepada orang-orang yang berhubungan dengan kita. Jangan Anda berpihak
kepada seseorang hanya karena ia adalah kerabat, orang kaya, orang fakir, atau
seorang teman. Jangan berpihak kepada seseorang, semua orang sama kedudukannya.
Sesungguhnya para ulama rahimahumullah mengatakan, ‘Harus bersikap adil kepada dua orang yang sedang berseteru, jika mereka berhukum kepada seorang hakim, dalam hal tutur kata, perhatian, pembicaraan, tempat duduk, dan cara masuknya. Jangan engkau memandang kepada salah satunya dengan pandangan marah, namun kepada yang lain dengan pandangan senang. Jangan engkau berbicara dengan nada lembut kepada salah seorang di antara mereka, namun kepada yang lain sebaliknya. Jangan sampai Anda bertanya kepada salah seorang di antara mereka, ‘Apa kabarmu? Apa kabar keluargamu? Bagaimana kabar anak-anakmu?’, namun orang kedua engkau biarkan tanpa pertanyaan. Bersikaplah adil di antara keduanya. Sampai serinci ini. Demikian juga dalam hal tempat duduk. Jangan Anda mempersilakan salah seorang darinya duduk dekat di sebelah kananmu sementara yang lain berada jauh darimu. Namun, posisikan mereka berdua di hadapanmu dalam garis yang sama. Bahkan, jika ada seorang muslim bertengkar dengan orang kafir di hadapan seorang hakim, ia harus bersikap adil di antara keduanya dalam pembicaraan, cara memandang, dan posisi duduk. Jangan sampai ia mengatakan kepada si muslim, ‘Kemarilah!’ sementara si kafir diposisikan jauh. Namun, ia harus memberikan tempat yang sama. Kesimpulannya, sikap adil harus dijunjung dalam segala hal. (Syarah Riyadhus Shalihin, al-Utsaimin)
Sesungguhnya para ulama rahimahumullah mengatakan, ‘Harus bersikap adil kepada dua orang yang sedang berseteru, jika mereka berhukum kepada seorang hakim, dalam hal tutur kata, perhatian, pembicaraan, tempat duduk, dan cara masuknya. Jangan engkau memandang kepada salah satunya dengan pandangan marah, namun kepada yang lain dengan pandangan senang. Jangan engkau berbicara dengan nada lembut kepada salah seorang di antara mereka, namun kepada yang lain sebaliknya. Jangan sampai Anda bertanya kepada salah seorang di antara mereka, ‘Apa kabarmu? Apa kabar keluargamu? Bagaimana kabar anak-anakmu?’, namun orang kedua engkau biarkan tanpa pertanyaan. Bersikaplah adil di antara keduanya. Sampai serinci ini. Demikian juga dalam hal tempat duduk. Jangan Anda mempersilakan salah seorang darinya duduk dekat di sebelah kananmu sementara yang lain berada jauh darimu. Namun, posisikan mereka berdua di hadapanmu dalam garis yang sama. Bahkan, jika ada seorang muslim bertengkar dengan orang kafir di hadapan seorang hakim, ia harus bersikap adil di antara keduanya dalam pembicaraan, cara memandang, dan posisi duduk. Jangan sampai ia mengatakan kepada si muslim, ‘Kemarilah!’ sementara si kafir diposisikan jauh. Namun, ia harus memberikan tempat yang sama. Kesimpulannya, sikap adil harus dijunjung dalam segala hal. (Syarah Riyadhus Shalihin, al-Utsaimin)
Bersikap Adil kepada Istri
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad menerangkan makna hadits di atas, “… Dengan bersikap adil kepada para istri dalam hal giliran bermalam, nafkah, dan pergaulan. Adapun perasaan yang ada di dalam hati, hal ini di luar kemampuan manusia dan dikembalikan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Meski demikian, seorang suami tidak boleh bersikap lebih cenderung kepada istri yang paling ia sayangi dan cintai. Ia harus bersikap adil dalam hal giliran bermalam, nafkah, dan segala sesuatu yang ia mampu.
Adapun perasaan di hati, tidak ada yang mampu menentukannya selain Allah
k. Akan tetapi, tidak sepantasnya seorang suami lebih condong kepada salah
seorang istrinya. Yang seharusnya ia lakukan adalah memenuhi hak masingmasing
tanpa menyakiti istri yang lain.
Membagi di antara istri dilakukan sebatas kemampuan yang ia miliki. Jika ada kecenderungan kepada salah seorang istri, hendaknya ia tetap bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala agar sikap tersebut tidak mendorongnya untuk menghilangkan atau mengurangi hak istri lainnya, atau hanya memberikan sedikit saja dari hak mereka padahal ia mampu. Kewajiban suami adalah bersikap adil dan seimbang di antara para istri.”
Membagi di antara istri dilakukan sebatas kemampuan yang ia miliki. Jika ada kecenderungan kepada salah seorang istri, hendaknya ia tetap bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala agar sikap tersebut tidak mendorongnya untuk menghilangkan atau mengurangi hak istri lainnya, atau hanya memberikan sedikit saja dari hak mereka padahal ia mampu. Kewajiban suami adalah bersikap adil dan seimbang di antara para istri.”
Asy – Syaikh Abdul Muhsin melanjutkan, “Abu Dawud membawakan hadits Abu
Hurairah di atas untuk menunjukkan bahwa balasan yang diperoleh seorang hamba
sesuai dengan jenis amalan yang ia perbuat. Pada hari kiamat kelak, ia datang
dengan sebelah tubuh yang miring karena saat di dunia ia lebih condong kepada
salah seorang istri. Hal ini berlaku pada hal-hal yang sebenarnya ia mampu
untuk bersikap adil, namun ia justru bersikap tidak sepantasnya. Orang semacam
ini akan datang pada hari kiamat kelak dengan sebelah tubuh yang miring.” (Syarah Abu Dawud, al-Abbad)
Oleh sebab itu, seorang muslim yang memiliki lebih dari seorang istri
harus benar-benar berjuang untuk bersikap adil. Alangkah beratnya hukuman dari
Allah Subhanahu wata’ala yang harus dijalani pada hari kiamat nanti apabila
sikap adil tersebut tidak diupayakan dengan maksimal. Dalam hal-hal yang dapat
diberlakukan sikap adil, seorang suami harus mampu memberikannya.
Apabila kepada salah seorang istri ia dapat bersikap romantis dengan kata-kata dan wajah berseri, kepada istri yang lain pun harus bersikap demikian. Memberikan waktu senggang untuk berbincangbincang harus dapat terwujud kepada semua istri. Hadiah tidak hanya diberikan kepada salah seorang istri, namun kepada seluruh istri. Demikian pula halnya perhatian kepada anak-anaknya, haruslah sama antara anak dari istri yang satu dengan istri lainnya.
Perhatikanlah teladan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,! Betapa pun dirasa berat, beliau tetap berjuang untuk bersikap adil. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tetap memerhatikan waktu menggilir meskipun beliau sedang sakit. Padahal keadaan beliau benar-benar payah.
Apabila kepada salah seorang istri ia dapat bersikap romantis dengan kata-kata dan wajah berseri, kepada istri yang lain pun harus bersikap demikian. Memberikan waktu senggang untuk berbincangbincang harus dapat terwujud kepada semua istri. Hadiah tidak hanya diberikan kepada salah seorang istri, namun kepada seluruh istri. Demikian pula halnya perhatian kepada anak-anaknya, haruslah sama antara anak dari istri yang satu dengan istri lainnya.
Perhatikanlah teladan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,! Betapa pun dirasa berat, beliau tetap berjuang untuk bersikap adil. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tetap memerhatikan waktu menggilir meskipun beliau sedang sakit. Padahal keadaan beliau benar-benar payah.
Al – Imam al – Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa pada saat sakit yang berujung wafatnya,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu menanyakan,
أَيْنَ أَنَا غَدًا، أَيْنَ أَنَا غَدًا؟
“Di manakah aku besok? Di manakah aku besok?”
Beliau berharap di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha. Istri-istri beliau
yang lain pun mengizinkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berada di
rumah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sampai meninggalnya. Aisyah radhiyallahu ‘anha
berkata kepada Urwah bin az-Zubair rahimahullah, “Dahulu, Rasulullah tidak
melebihkan salah seorang di antara kami (para istri) dalam jadwal giliran
bermalam.
Dahulu, kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, jarang sekali
hari berlalu kecuali beliau pasti berkeliling di antara kami semua. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wasallam mendekati tiap istri tanpa berhubungan sampai pada
istri yang memiliki giliran lalu menginap (bermalam) di sana. Ibnu Qudamah
rahimahullah mengatakan, ”Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di
antara ulama tentang wajibnya menggilir dan kesamaan waktu untuk menggilir di
antara para istri.”
Adapun dalam hal besar kecilnya rasa cinta dan ketertarikan untuk
berhubungan badan, hal ini di luar kemampuan hamba. sebagaimana tercelanya
orang yangmmemakai dua potong pakaian kedustaan (al-Minhaj, 14/336).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan permisalan seperti dalam hadits di atas agar paramperempuan menjauhi perbuatan
tersebut, karena akibat yang ditimbulkannya tidaklah remeh. Perbuatan itu bisammerusak hubungan suami dengan simmadu
yang dipanas-panasi dan bisa membuat
kebencian di antara keduanya, sehingga
perbuatan tersebut seperti sihir yang bisa memisahkan antara suami dan
istrinya. (Fathul Bari 9/394—395).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
This way my buddy Wesley Virgin's tale starts with this SHOCKING and controversial VIDEO.
BalasHapusYou see, Wesley was in the army-and soon after leaving-he revealed hidden, "mind control" tactics that the CIA and others used to obtain everything they want.
THESE are the same tactics tons of celebrities (especially those who "come out of nothing") and elite business people used to become rich and famous.
You've heard that you use only 10% of your brain.
That's mostly because the majority of your brain's power is UNCONSCIOUS.
Perhaps that expression has even occurred INSIDE your very own mind... as it did in my good friend Wesley Virgin's mind about seven years ago, while riding an unregistered, beat-up trash bucket of a vehicle with a suspended license and in his bank account.
"I'm very fed up with going through life paycheck to paycheck! When will I finally succeed?"
You took part in those types of thoughts, isn't it right?
Your very own success story is waiting to start. You need to start believing in YOURSELF.
CLICK HERE To Find Out How To Become A MILLIONAIRE