Ada
beberapa aturan atau hukum yang diatur oleh syariat dalam hal poligami, di
antaranya:
1.
Tidak
boleh mengumpulkan dua perempuan bersaudara dalam ikatan pernikahan.
Artinya, seorang lelaki tidak boleh menikahi seorang perempuan kemudian menikahi lagi saudara perempuan istri, yakni iparnya. Sama saja, apakah itu adik atau kakak ipar, sekandung, seayah, atau seibu dengan istri, lalu keduanya dikumpulkan dalam pernikahan (dijadikan madu satu dengan yang lainnya).
Artinya, seorang lelaki tidak boleh menikahi seorang perempuan kemudian menikahi lagi saudara perempuan istri, yakni iparnya. Sama saja, apakah itu adik atau kakak ipar, sekandung, seayah, atau seibu dengan istri, lalu keduanya dikumpulkan dalam pernikahan (dijadikan madu satu dengan yang lainnya).
Ketika Allah Subhanahu wata’ala menyebutkan tentang perempuan-perempuan
yang haram dinikahi, termasuk yang haram dilakukan adalah,
“Dan kalian mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara, terkecuali apa yang telah lalu.” (QS An-Nisa: 23)
Ummu Habibah bintu Abi Sufyan radhiyallahu ‘anha, seorang ummul mukminin, pernah berkata kepada suaminya, “Wahai Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku, putri Abu Sufyan” . Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Apakah kamu menyenangi hal itu?” “Iya. Toh saya tidak sendirian sebagai istrimu, saya dapati saya punya madu (istri-istrimu yang lain),” jawab Ummu Habibah. “Aku suka saudara perempuanku ikut menyertaiku dalam kebaikan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh hal itu tidak
halal bagiku.” Ummu Habibah berkata lagi, “Kami membicarakan bahwa Anda ingin
menikahi putri Abu Salamah.” “Putri Ummu Salamah?” tanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam meyakinkan. “Iya,” jawab Ummu Habibah. Rasulullah n
menjelaskan, “Andainya pun ia bukan rabibahku (putri istriku) yang dalam
asuhanku, ia tetap tidak halal bagiku, karena ia adalah putri dari saudara
laki-lakiku sesusuan. Aku dan Abu Salamah pernah disusui oleh Tsuwaibah (budak
Abu Lahab). Janganlah kalian (para istriku) menawarkan kepadaku (untuk
kunikahi) putri-putri kalian dan jangan pula saudara-saudara perempuan kalian.”
(HR. al-Bukhari No. 5101 dan Muslim No. 3571)
2. Tidak
boleh mengumpulkan istri dengan bibinya, dari pihak ayah ataupun ibu (‘ammah
dan khalah) dalam pernikahan.
Berarti, tidak boleh setelah menikahi si istri lalu menikahi bibinya,
atau sebaliknya, menikah dulu dengan si bibi lalu menikahi keponakannya.
Demikian pendapat yang rajih, dan ini adalah pendapat jumhur ulama (Fathul Bari,
9/202).
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,
نَهَى النَّبِيُّ أَنْ تُنْكَحَ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَالْمَرْأَةُ عَلَى خَالَتِهَا
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seorang perempuan dinikahi setelah ‘ammahnya dan seorang perempuan dinikahi setelah memperistri khalahnya.” (HR. al- Bukhari No. 5110 dan Muslim No. 3429)
Yang haram hanyalah apabila mereka disatukan dalam pernikahan, yakni
dijadikan madu. Adapun apabila istrinya sudah meninggal atau bercerai darinya,
tidak apa-apa si suami menikahi adik perempuan, kakak perempuan, atau bibi
istrinya.
3. Boleh memberikan mahar yang berbeda antara satu
istri dan istri yang lain, baik dalam hal jumlah atau macamnya.
Dalilnya apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
hal pemberian mahar pernikahannya dengan istri-istri beliau. Beliau tidaklah
menyamakan satu istri dengan istri yang lain. Ketika menikahi Ummu Habibah
radhiyallahu ‘anha, Raja Najasyi menyerahkan mahar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam sebesar empat ribu dirham. (HR. Abu Dawud no. 2107, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu memberitakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerdekakan Shafiyah bintu Huyai radhiyallahu ‘anha dari perbudakan dan menjadikan kemerdekaannya sebagai maharnya. (HR. al-Bukhari No. 5086 dan Muslim No. 3482)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu memberitakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerdekakan Shafiyah bintu Huyai radhiyallahu ‘anha dari perbudakan dan menjadikan kemerdekaannya sebagai maharnya. (HR. al-Bukhari No. 5086 dan Muslim No. 3482)
4. Boleh menyelenggarakan walimah pernikahan dengan
seorang istri lebih meriah daripada walimah pernikahan dengan istri yang lain.
Tsabit al-Bunani, seorang tabi’in yang mulia dan murid Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu, mengatakan, “Disebut-sebut tentang pernikahan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Zainab bintu Jahsyin radhiyallahu ‘anha di
sisi Anas radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata, ‘Aku tidak pernah melihat Nabi
menyelenggarakan walimah pernikahan beliau dengan salah satu dari istri-istri beliau
melebihi walimah yang diadakannya saat menikahi Zainab” (HR. al-Bukhari No. 5171
dan Muslim No. 3489).
Al-Kirmani mengatakan, bisa jadi, sebab Zainab radhiyallahu ‘anha dilebihkan dalam walimah daripada istri-istri beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain adalah sebagai tanda kesyukuran kepada Allah Subhanahu wata’ala atas nikmat yang dilimpahkan kepada beliau, yaitu Allah Subhanahu wata’ala menikahkan Zainab dengan beliau lewat wahyu (Fathul Bari, 9/296).
Al-Kirmani mengatakan, bisa jadi, sebab Zainab radhiyallahu ‘anha dilebihkan dalam walimah daripada istri-istri beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain adalah sebagai tanda kesyukuran kepada Allah Subhanahu wata’ala atas nikmat yang dilimpahkan kepada beliau, yaitu Allah Subhanahu wata’ala menikahkan Zainab dengan beliau lewat wahyu (Fathul Bari, 9/296).
5. Setiap
istri ditempatkan di rumah tersendiri karena demikianlah yang dilakukan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Subhanahu wata’ala menyatakan dalam al- Qur’an,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Tetaplah kalian (istri-istri Nabi) tinggal di rumah-rumah kalian.” (QS Al-Ahzab: 33)
Demikian pula ayat,
“Dan ingatlah apa yang dibacakan dalam rumah-rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan hikmah….” (QS Al-Ahzab: 34)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wata’ala menyebutkan lafadz buyut (bentuk
jamak dari kata bait) yang bermakna rumah rumah, yang berarti rumah Nabi tidak
hanya satu, tetapi berbilang.
Hadits – hadits juga banyak menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menempatkan istri-istri beliau dalam rumah yang terpisah. Di antaranya hadits Aisyah berikut ini radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ,كَانَ يَسْأَلُ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتِ فِيْهِ: أَيْنَ أَنَا غَدًا، أَيْنَ أَنَا غَدًا؟ يُرِيْدُ يَوْمَ عَائِشَةَ، فَأَذِنَ لَهُ أَزْوَاجُهُ يَكُوْنُ حَيْثُ شَاءَ، فَكاَنَ فِي بَيْتِ عَائِشَة حَتَّى مَاتَ عِنْدَهَا.
Saat sakit yang mengantarkan kepada kematian Rasulullah n, beliau biasa
bertanya, “Di mana aku besok, di mana aku besok?” Beliau menginginkan tiba hari
giliran Aisyah. Istri-istri beliau pun mengizinkan beliau untuk berdiam di mana
saja yang beliau inginkan. Beliau pun tinggal di rumah Aisyah sampai meninggal
di sisi Aisyah. (HR. Al- Bukhari No. 5217)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, ketika Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam berada di rumah salah seorang istrinya, istri beliau yang lain
mengirimkan sepiring makanan untuk beliau. Melihat hal itu, istri yang Nabi
sedang berdiam di rumahnya memukul tangan pelayan yang membawa makanan tersebut
hingga jatuhlah piring itu dan terbelah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun
mengumpulkan belahan piring tersebut kemudian mengumpulkan makanan yang
berserakan, lalu beliau letakkan di atas piring yang terbelah seraya berkata,
“Ibu kalian sedang cemburu.” Beliau lalu menahan pelayan tersebut hingga
diberikan kepadanya ganti berupa piring yang masih utuh milik istri yang
memecahkannya, sementara piring yang pecah disimpan di tempatnya.” (HR. Al-Bukhari No. 5225)
Para istri sebaiknya ditempatkan di rumah tersendiri karena berkumpulnya mereka
rawan memunculkan kecemburuan dan pertikaian. Dikhawatirkan saat suami
menggauli salah satu istrinya, istri yang lain akan melihatnya. Demikian kata
al- Hasan al-Bashri rahimahullah (al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah, 4/388).
6.
Boleh
menempatkan istri-istri dalam satu rumah apabila mereka ridha.
Al-Imam Ibnu Qudamah t menerangkan, “Tidak boleh seorang suami
mengumpulkan dua istri dalam satu tempat tinggal tanpa keridhaan keduanya, baik
istri muda maupun istri tua, karena mudarat yang bisa muncul di antara
keduanya, yaitu permusuhan dan kecemburuan. Apabila keduanya dikumpulkan akan mengobarkan
pertikaian dan permusuhan. Yang satu akan mendengar atau melihat ketika
suaminya “mendatangi” istri yang lain. Namun, jika kedua istri ridha, hal itu
dibolehkan.
Sebab, hal itu menjadi hak keduanya dan mereka bisa menggugurkannya. Demikian
pula, apabila keduanya ridha suami tidur di antara keduanya dalam satu selimut.
Namun, apabila keduanya ridha suami mencampuri salah satunya dan yang lainnya
menyaksikan, hal ini tidaklah diperbolehkan. Sebab, hal ini adalah perbuatan
yang rendah, tidak pantas, dan menjatuhkan kehormatan. Karena itu, walaupun
keduanya ridha, tetap tidak diperkenankan. (Al-Mughni,
“Kitab ‘Isyratun Nisa”, “Fashl an Yajma’a Baina Imra’ataihi fi Maskan Wahid”)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah juga menyatakan bolehnya mengumpulkan
istri dalam satu rumah apabila mereka ridha. (Al-Jami’ li
Ahkamil Qur’an, 14/140)
7.
Seorang
istri boleh mengirimkan hadiah kepada suaminya saat si suami sedang berada di
rumah istri yang lain.
Dalil kita adalah hadits Anas radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan tentang
seorang ummul mukminin yang mengirimkan hadiah sepiring makanan kepada
Rasulullah saat beliau berada di rumah istri beliau yang lain, dan beliau tidak
mengingkari perbuatan tersebut.
8. Suami
harus berlaku adil dalam hal nafkah, pakaian, dan tempat tinggal.
Demikian pula dalam urusan mabit (bermalam), dijatahnya istri-istrinya, malam
dan siangnya dengan adil.
Suami bisa menggilir semalam-semalam,
atau sesuai kesepakatan yang ada. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
sendiri membagi giliran istri-istrinya sehari semalam, sebagaimana hadits
Aisyah radhiyallahu ‘anha,
وَكَانَ يَقْسِمُ لِكُلِّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا غَيْرَ أَنَّ سَوْدَةَ بِنْتَ زَمْعَةَ وَهَبَتْ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا لِعَائِشَةَ النَّبِيِّ, تَبْتَغِي بِذَلِكَ رِضَا زَوْجِ رَسُوْلِ اللهِ
“Beliau membagi giliran setiap istrinya sehari semalam, kecuali Saudah bintu Zam’ah, ia telah menghadiahkan hari dan malamnya untuk Aisyah guna mencari keridhaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Al-Bukhari No. 2688)
Apabila seorang istri ditambah hari gilirannya, istri yang lain pun ditambah, berdasar hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha saat pengantin barunya,
إِنْ شِئْتِ سَبَّعْتُ لَكِ وَإِنْ سَبَّعْتُ لَكِ سَبَّعْتُ لِنِسَائِي
“Apabila engkau mau, aku akan mencukupkan tujuh hari bersamamu. Namun,
kalau aku memberikan waktu tujuh hari denganmu, berarti aku juga memberikan
tujuh hari untuk istri-istriku yang lain.” (HR.
Muslim No. 3606)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata ketika menjelaskan ucapan al-Khiraqi, “Masalah: Sandaran pembagian giliran adalah malam hari”, “Tidak ada perselisihan dalam hal ini, karena waktu malam itu untuk istirahat/menenangkan diri dan berdiam. Seseorang berdiam di rumahnya pada waktu malam, menenangkan diri dengan keluarganya, dan biasanya tidur di tempat tidurnya bersama istrinya. Adapun siang hari adalah waktu untuk mengurusi penghidupan, keluar rumah, mencari rezeki, dan menyibukkan diri”.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا
“Dan Dia menjadikan malam sebagai waktu ketenangan.” (QS Al-An’am: 96)
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا جَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًاوَ
“Kami menjadikan malam sebagai pakaian dan siang untuk mengurusi penghidupan.” (QS An-Naba: 10—11)
وَمِن رَّحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِن فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Termasuk rahmat-Nya, Dia menjadikan bagi kalian malam dan siang agar
kalian mendapatkan ketenangan di dalamnya (di waktu malam) dan agar kalian bisa
mencari sebagian keutamaan- Nya (pada siang hari).” (QS Al-Qashash: 73)
Berdasarkan hal ini, seorang lelaki membagi giliran di antara istrinya semalam demi semalam, sedangkan siang harinya ia mengurusi pekerjaan, memenuhi hakhak manusia, dan melakukan urusan mubah yang dia inginkan. Berbeda halnya apabila ia termasuk orang yang bekerja di waktu malam, seperti penjaga keamanan (satpam) dan yang semisalnya, ia menunaikan giliran istri-istrinya di siang hari, sedangkan malam hari baginya seperti siang bagi orang lain.” (Al- Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, “Fashl at-Taswiyah baina an-Nisa fin Nafaqah wal Kiswah”)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, malam menjadi sandaran giliran di saat seseorang bermukim. Adapun saat safar, patokan giliran adalah saat singgah di suatu tempat. (Fathul Bari, 9/386)
Namun, riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menyebutkan Saudah
menghadiahkan malam dan siangnya untuk Aisyah, menunjukkan siang juga masuk
dalam pembagian mengikuti malam. Yang dimaksud dengan siang hari adalah hari
yang mengikuti malam yang sudah lewat. (Al-Mughni,
“Kitab ‘Isyratun Nisa”, fashl an-Nahar Yadkhulu fil Qism Taba’an Lil lail)
9. Istri yang sedang haid, nifas, atau sakit juga
tetap mendapat pembagian giliran.
Demikian yang dinyatakan oleh ats-Tsauri, asy-Syafi’i, dan ashabur ra’yi, sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Qudamah ( Al-Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, “fashl Yuqsamu lil Maridhah…”).
Al-Qurthubi rahimahullah juga menyatakan demikian. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 14/139)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap bermalam di rumah istri beliau yang haid dan tidur bersamanya. Kata Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Apabila salah seorang dari kami haid dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ingin bercampur (selain jima’) dengannya, beliau perintahkan si istri untuk bersarung (menutupi tubuh bagian bawah), lalu beliau pun mencampurinya. Kata Aisyah, “Siapa di antara kalian yang mampu menahan nafsunya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mampu menguasainya?” (HR. al-Bukhari No. 302 dan Muslim No. 677)
Demikian yang dinyatakan oleh ats-Tsauri, asy-Syafi’i, dan ashabur ra’yi, sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Qudamah ( Al-Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, “fashl Yuqsamu lil Maridhah…”).
Al-Qurthubi rahimahullah juga menyatakan demikian. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 14/139)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap bermalam di rumah istri beliau yang haid dan tidur bersamanya. Kata Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Apabila salah seorang dari kami haid dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ingin bercampur (selain jima’) dengannya, beliau perintahkan si istri untuk bersarung (menutupi tubuh bagian bawah), lalu beliau pun mencampurinya. Kata Aisyah, “Siapa di antara kalian yang mampu menahan nafsunya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mampu menguasainya?” (HR. al-Bukhari No. 302 dan Muslim No. 677)
Maimunah radhiyallahu ‘anha pun memberitakan sebagaimana yang dikabarkan
oleh Aisyah (HR. Al-Bukhari No. 303 dan
Muslim No. 678)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Wajib bagi suami berlaku adil
di antara istri-istrinya. Setiap istri berhak mendapatkan giliran sehari
semalam. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Sebagian ulama berpendapat,
giliran hanya wajib pada malam hari, tidak pada siang hari. Hak istri tidak
gugur pada saat sakit dan haid. Suami harus berada di samping istrinya pada
hari gilirannya dan malamnya. Wajib bagi suami berlaku adil di antara para
istri di saat sakit (suami) sebagaimana yang ia lakukan di saat sehatnya. Lain
halnya jika ia tidak kuasa untuk bergerak, maka ia tinggal di rumah istrinya
tempat ia jatuh sakit (yang membuatnya tidak bisa bergerak/ sakit parah) di
situ. Apabila telah sehat, ia memulai lagi giliran yang baru. (Al- Jami’ li Ahkamil Qur’an, 14/139)
10. Bermalam di samping seorang istri tidak berarti
harus jima’ dengannya. Yang penting, si suami bermalam di rumah istri
tersebut, maka hal tersebut sudah mencukupi. Namun, tentu disenangi apabila
suami tidak menyia-nyiakan istrinya. (Al-Minhaj,
9/288)
11. Suami tidak wajib menyamakan istri-istrinya dalam
hal cinta, kecondongan hati, dan jima’. Namun, apabila suami bisa
menyamakan, hal itu baik dalam tinjauan keadilan. Kalaupun tidak, tidak ada
dosa bagi suami.
12. Tidak boleh mendahulukan satu istri selain dalam
hal awal mendapatkan giliran sehingga dilakukan undian, kecuali
apabila para istri ridha mengikuti kehendak suami, siapa istri yang digilirnya
terlebih dahulu.
Disebutkan dalam al-Majmu’, (18/110), “Apabila suami hendak membagi
giliran (di antara para istrinya) ia tidak boleh memulai dari salah seorang
istri tanpa keridhaan istri-istri yang lain, kecuali dengan undian. Ini
berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ
فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ.
“Siapa yang memiliki dua istri lalu condong kepada salah seorang dari
keduanya (berlaku tidak adil), maka ia akan datang pada hari kiamat dalam
keadaan sebelah tubuhnya miring.” (HR.
Abu Dawud No. 2133, An-Nasa’i No. 3942,
dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud, Shahih An-Nasa’i,
dan Irwa’ul Ghalil No. 2017)
Selain itu, memulai dari salah seorang istri tanpa melakukan undian akan mengundang perasaan tidak suka/iri. Apabila ia mengutamakan satu istrinya dalam hal giliran baik dengan undian maupun tidak, ia wajib mengqadha (menggantinya) untuk istri-istri yang lain. Sebab, kalau ia tidak qadha berarti ia telah condong/melebihkan salah seorang istrinya dari yang lain sehingga ia masuk dalam ancaman yang disebutkan dalam hadits.”
Selain itu, memulai dari salah seorang istri tanpa melakukan undian akan mengundang perasaan tidak suka/iri. Apabila ia mengutamakan satu istrinya dalam hal giliran baik dengan undian maupun tidak, ia wajib mengqadha (menggantinya) untuk istri-istri yang lain. Sebab, kalau ia tidak qadha berarti ia telah condong/melebihkan salah seorang istrinya dari yang lain sehingga ia masuk dalam ancaman yang disebutkan dalam hadits.”
13.
Saat
giliran seorang istri, maka pada malam hari suami tidak boleh pergi ke rumah
istrinya yang lain kecuali karena suatu keperluan yang darurat. Apabila sampai suami
melakukannya, hal itu adalah pelanggaran terhadap sikap adil.
Dalilnya
adalah kisah malam giliran Aisyah radhiyallahu ‘anha, ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan Aisyah untuk memenuhi ajakan Jibril
ziarah ke Baqi’, namun disangka oleh Aisyah hendak ke tempat istri yang lain.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika itu menyatakan, “Apakah engkau
menyangka Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil terhadapmu?”
(HR. Muslim No. 974)
Darurat
yang dimaksud contohnya sakit, atau si madu dikhawatirkan meninggal, atau ia
dipaksa oleh penguasa untuk ke tempat madu istrinya. Apabila demikian, ia boleh
keluar dan wajib baginya mengqadha waktu yang terpotong dari istri yang punya
hak giliran. (Al- Majmu’, 18/119)
14.
Boleh para
istri berkumpul di malam hari di rumah istri yang sedang mendapatkan giliran
untuk bercerita atau berbincang-bincang sampai datang waktu tidur, kemudian
masing-masing pulang ke rumah mereka. (Zadul
Ma’ad, 4/20)
Hal ini
dilakukan oleh istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana
berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,
فَكُنَّ يَجْتَمِعْنَ كُلَّ لَيْلَةٍ فِي بَيْتِ الَّتِي يَأْتِيْهَا
“Mereka
(para istri Nabi) berkumpul setiap malam di rumah istri yang didatangi oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR.
Muslim No. 3613)
15.
Hukum
asalnya dan yang lebih utama, suami menggilir istri-istrinya dengan mendatangi mereka di rumah
masing-masing, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Hal ini
lebih bagus dari sisi pergaulan suami istri, lebih menjaga istri, dan lebih
menutupinya. Namun, apabila suami memiliki tempat atau kamar khusus, kemudian
memanggil istri yang sedang memperoleh giliran ke tempatnya, hal itu
dibolehkan. Sebab, memindahkan istri ke mana saja yang ia inginkan adalah hak suami,
dan sudah menjadi kewajiban bagi istri untuk mengikuti suaminya. (Al-Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, “fashl Al-Aula
an Yakuna li Kulli Wahidah min hunna Maskan”, dan al- Minhaj, 10/289)
16.
Tidak
boleh menggauli istri yang bukan gilirannya kecuali dengan keridhaan istri yang
sedang memperoleh giliran.
Aisyah
radhiyallahu ‘anha menyampaikan kepadakeponakannya, Urwah bin az-Zubair, “Wahai
anak saudara perempuanku! Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu tidak
mengutamakan sebagian kami dari yang lain dalam hal berdiamnya beliau di sisi
kami saat pembagian giliran. Hampir setiap hari beliau berkeliling ke tempat
kami seluruhnya, lalu beliau mendekati setiap istrinya tanpa melakukan jima’.
Tatkala beliau sampai ke rumah istri yang mendapat giliran hari itu, beliau pun
bermalam di rumahnya.” (HR. Abu Dawud No. 2135, hadits ini hasan sahih sebagaimana dalam
Shahih Abi Dawud)
Al-Imam
Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan, boleh bagi suami untuk masuk menemui
istri-istrinya seluruhnya pada hari giliran salah seorang dari mereka, tetapi
ia tidak boleh menggauli istri yang bukan hari gilirannya. (Zadul Ma’ad, 4/20)
Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah juga menyatakan demikian. Jadi, suami dibolehkan bermesraan, menyentuh/ meraba, dan mencium istri yang bukan gilirannya (asal bukan jima’). (Subulus Salam, 6/145)
Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah juga menyatakan demikian. Jadi, suami dibolehkan bermesraan, menyentuh/ meraba, dan mencium istri yang bukan gilirannya (asal bukan jima’). (Subulus Salam, 6/145)
17.
Seorang
istri boleh menghadiahkan gilirannya kepada madunya.
Hal ini
sebagaimana yang dilakukan oleh Saudah bintu Zam’ah radhiyallahu ‘anha yang
memberikan hari dan malamnya untuk Aisyah radhiyallahu ‘anha. (HR. al-Bukhari No. 2688 dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)
18.
Mengundi
para istri apabila ada yang hendak dibawa safar
Walaupun
dalam masalah ini adaperbedaan pendapat, antara yang mengatakan wajib diundi,
seperti al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah, dan yang berpendapat tidak wajib
(Subulus Salam 6/146)9, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
melakukannya. Apabila ingin safar, beliau n mengundi di antara istri istrinya.
Siapa di antara mereka yang keluar undiannya, beliau membawanya dalam safar. (HR. Al- Bukhari
no. 2688 dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Ibnu Hazm
rahimahullah berkata, “Suami tidak boleh mengkhususkan salah seorang istrinya
untuk safar bersamanya kecuali dengan undian.” (Al-Muhalla,
10/63)
Setelah
pulang dari safar yang sebelumnya dilakukan undian untuk menentukan istri mana
yang akan diajak, si suami tidak mengqadha giliran untuk istri yang tidak
diajak safar.
Demikian pendapat kebanyakan ulama. Mereka berdalil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan alasan seperti itu dalam Zadul Ma’ad.
Demikian pendapat kebanyakan ulama. Mereka berdalil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan alasan seperti itu dalam Zadul Ma’ad.
Adapun
kalau safarnya tanpa undian, dibawa siapa saja dari istri yang diinginkan oleh
suami, Ibnul Qayyim rahimahullah membawakan tiga pendapat, apakah suami harus
mengqadha untuk istri yang tidak diajak safar ataukah tidak.
1. Tidak
mengqadha, sama saja dilakukan undian atau tanpa undian. Ini adalah pendapat
Abu Hanifah dan al-Imam Malik.
2. Diqadha
untuk istri-istri yang ditinggal dan tidak diajak safar, sama saja apakah
dilakukan undian atau tidak. Ini adalah mazhab Zhahiri.
3. Kalau
dilakukan undian, suami tidak mengqadha; apabila tanpa undian, suami harus
mengqadha. Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad dan asy- Syafi’i. Wallahu a’lam.
(Zadul Ma’ad, 4/20)
19.
Seorang
perempuan dibenci “memanas-manasi” madunya dengan apa yang tidak ada padanya.
Ketika ada
seorang perempuan berkata, “Wahai Rasulullah, saya memiliki madu. Apakah saya
berdosa apabila saya mengatakan kepadanya bahwa saya diberikan harta ini-itu
dari suamiku, padahal sebenarnya suamiku tidak memberikannya?” Rasulullah
rahimahullah menjawab,
الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُوْرٍ
“Orang
yang berhias-hias (mengakungaku) dengan apa yang tidak diberikan kepadanya
seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan.” (HR. Al- Bukhari No. 5219 dan Muslim No. 5549 dari Asma radhiyallahu ‘anha)
Biasanya,
perempuan melakukannya karena ingin membuat marah atau memanas-manasi madunya (Fathul Bari, 9/394).
Perbuatan
seperti ini jelas tercela Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, ”Kami tidak
mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara ulama tentang tidak wajibnya
membagi sama rata di antara para istri dalam urusan jima’ (berhubungan badan).”
Mampu
Bersikap Adil Adalah Nikmat
Menikah lebih dari satu istri bagi yang mampu adalah sebuah kelebihan.
Namun, hal itu haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu disertai kewajiban
menghindari sikap-sikap yang tercela. Ia harus mengedepankan sikap adil dan
menjauhi bentuk-bentuk kezaliman.
Al – Imam Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Nikmat Allah Subhanahu wata’ala terbesar kepada seorang hamba adalah dimudahkan untuk memiliki sikap adil dan cinta kepada keadilan, serta dimudahkan untuk berada di atas kebenaran dan cinta kepada kebenaran.” (Mudawatun Nufus hlm. 90) Semoga Allah Subhanahu wata’ala memudahkan setiap hamba yang berusaha menegakkan sunnah Nabi-Nya. Wallahul muwaffiq.
Al – Imam Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Nikmat Allah Subhanahu wata’ala terbesar kepada seorang hamba adalah dimudahkan untuk memiliki sikap adil dan cinta kepada keadilan, serta dimudahkan untuk berada di atas kebenaran dan cinta kepada kebenaran.” (Mudawatun Nufus hlm. 90) Semoga Allah Subhanahu wata’ala memudahkan setiap hamba yang berusaha menegakkan sunnah Nabi-Nya. Wallahul muwaffiq.
Do this hack to drop 2lb of fat in 8 hours
BalasHapusAt least 160000 women and men are hacking their diet with a simple and secret "liquids hack" to drop 2lbs each and every night while they sleep.
It's very easy and it works every time.
This is how you can do it yourself:
1) Take a drinking glass and fill it up half the way
2) Now follow this weight loss hack
you'll be 2lbs thinner the very next day!