About Me

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia

Rabu, Mei 02, 2012

Renungan Hardiknas 2012

Pendidikan Karakter vs Dekadensi Moral


Apa yang salah dengan pendidikan kita saat ini ? Barangkali inilah pertanyaan yang paling mengemuka di tengah masyarakat kita, ketika mencermati berbagai fenomena yang berkembang belakangan ini. Melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik, hampir setiap hari kita disuguhi informasi-informasi yang secara vulgar menunjukkan betapa bangsa kita saat ini berada di ambang kerusakan moral. Merebaknya peristiwa tawuran mulai dari tingkat RT, antar kampung , antar pelajar / mahasiswa  , antar sekolah / kampus hingga tawuran antar sesama wakil rakyat, para anggota DPR kita , merupakan contoh kecil dari kerusakan moral bangsa kita. Belum lagi jika ditambah dengan berbagai tindak kriminal yang hampir terjadi setiap hari,  seperti perampokan, pemerkosaan, pembunuhan serta berbagai kasus korupsi yang kian merajalela, semakin memberikan peneguhan bahwa kerusakan moral di tengah masyarakat kita semakin meluas.
Menurut Prof Dr Herry Suhardiyanto, dekadensi atau kemerosotan moral yang dialami sebuah masyarakat perlu diwaspadai, karena merupakan pertanda kemunduran dan kehancuran. Lebih lanjut Suhardiyanto mengatakan bahwa terdapat sejumlah tanda yang perlu diwaspadai, karena bila tanda-tanda tersebut telah ada, berarti sebuah bangsa tengah menuju siklus kemunduran dan kehancuran. Tanda-tanda tersebut yaitu meningkatknya kekerasan di kalangan remaja. Kekerasan di kalangan remaja akan menyebabkan mereka kehilangan masa depan. Tanda berikutnya yaitu penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk dan pengaruh “peer group” atau kelompok pertemanan yang kuat dalam tindakan kekerasan. Peningkatan perilaku merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas juga sebagai fenomena kerusakan moral yang perlu diwaspadai. Tanda-tanda selanjutnya yaitu berupa semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, menurunkan etos kerja, semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, serta menguatnya budaya ketidakjujuran (http://optimisindonesia.net/).
Dalam dunia pendidikan, kasus-kasus kekerasan terhadap anak sekolah juga kerap terjadi. Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak, dari laporan yang masuk  per November 2009 setidaknya terdapat 98 kasus kekerasan fisik, 108 kekerasan seksual, dan 176 kekerasan psikis pada anak yang terjadi di lingkungan sekolah (http://www.tempo.co/read/news/).
Yang terbaru (Februari 2012) adalah kasus penusukan yang dilakukan oleh seorang siswa SD di Depok terhadap teman sekolahnya sendiri  (http://www.tempo.co/read/news/).
Maraknya tawuran dan fenomena perilaku kekerasan di sekolah-sekolah bahkan hingga perguruan tinggi, menimbulkan sebuah tanda tanya besar akan realisasi fungsi Pendidikan Nasional, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003. Pendidikan Nasional yang pada hakikatnya bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, ternyata berbanding terbalik dengan berbagai realitas yang ada.
Kita tentu saja patut berbangga bahwa siswa-siswi  Indonesia selalu menjadi pemborong medali dalam setiap kompetisi olimpiade sains internasional, tetapi pada di sisi lain, kita juga sangat prihatin bahwa kasus siswa-siswi cacat moral seperti siswi married by accident, aksi pornografi, kasus narkoba, plagiarisme dalam ujian, dan sejenisnya, senantiasa  marak menghiasi sejumlah media.
Dalam konteks yang lebih luas, keprihatinan kita akan semakin bertambah ketika melihat bahwa kerusakan moral itu tidak hanya terjadi sebatas pada kalangan pelajar dan dunia pendidikan secara umum. Kita juga sering menyaksikan melalui berbagai media bahwa dekadensi moral ini juga terjadi di kalangan pemegang kekuasaan dan para elit poilitik. Hasil survei Transparency International yang merupakan organisasi internasional anti korupsi menyebutkan bahwa kepolisian, peradilan, dan parlemen, masih menduduki skor tertinggi dalam nilai indeks korupsi (http://www.ti.or.id/researchsurvey/).  Pada ketiga lembaga tersebut, korupsi dilakukan oleh oknum-oknum yang notabene memiliki latar pendidikan memadai. Senada dengan itu, hasil riset tahun 2004, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan adanya indikasi pola korupsi yang melibatkan berbagai unsur di lingkup Pendidikan (http://antikorupsi.org/).
Berbagai fenomena di atas memunculkan berbagai pertanyaan tentang peran strategis pendidikan selama ini. Sejumlah kalangan menuntut agar sistem pendidikan dikaji ulang. Dalam hal ini, kurikulum sebagai standar pedoman pembelajaran belum sepenuhnya mengejawantahkan tujuan utama pendidikan itu sendiri, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Orientasi pendidikan kita selama ini dianggap lebih mengedepankan aspek kognitif (kecerdasan intelektual),  sementara aspek afektif (nilai-nilai spiritual, moral dan etika) dan psikomotor (nilai-nilai kecakapan, ketrampilan dan kemandirian) terabaikan. Oleh karena itu, diperlukan reformasi pendidikan, demi memulihkan kesenjangan ektrim antara kualitas intelektual   dengan nilai-nilai moral spritual.
Proses pendidikan, di samping sebagai transfer pengetahuan,  seharusnya juga menjadi alat transformasi nilai-nilai moral dan character building. Semakin terdidik seseorang, secara logis, seharusnya semakin tahu mana jalan yang benar dan mana jalan yang menyimpang, sehingga ilmu dan kualitas akademis yang didapatkan tidak disalah-gunakan.
Pendidikan Karakter berupaya menjawab berbagai problema pendidikan dewasa ini. Pendidikan Karakter adalah sebuah konsep pendidikan integratif yang tidak hanya bertumpu pada pengembangan kompetisi kognitif peserta didik semata, tetapi juga pada penanaman nilai etika, moral, dan spritual.
Oleh karena itu, demi mewujudkannya, dibutuhkan perencanaan yang matang, sistematis  dan berjangka panjang. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh, yaitu :

A.       Reorientasi dan Revitalisasi KTSP

Pada dasarnya, implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sudah merupakan inovasi ideal yang dilakukan pemerintah. Namun, kurangnya SDM dan lemahnya kualifikasi guru mengakibatkan penjabaran KTSP masih belum optimal.             Masih banyak guru yang memegang filosofis sistem kurikulum lama yang memposisikan peserta didik sebagai objek, bukan sebagai subjek aktif pembelajaran. Ditambah lagi, mis-interpretasi terhadap KTSP yang membentuk sebuah  paradigma  bahwa lembaga akademik sebagai penerima pasif kebijakan pemerintah. Padahal, desentralisasi pendidikan telah memberi ruang seluas-luasnya bagi setiap jenjang pendidikan untuk memilih sistem pembelajaran kreatif-inovatif, sehingga tujuan pendidikan nasional bisa terealisasi dengan benar.
Di lingkup stakeholders, dalam hal ini Depdikbud dan instansi terkait, juga tak luput dari masalah. Tak sedikit kebijakan pemerintah yang terkesan "menyimpang" dan berbanding terbalik dengan teori yang ditetapkan dalam kurikulum.
Contoh kecilnya, dalam KTSP sistem penilaian yang diterapkan adalah sistem penilaian berkelanjutan yang meliputi tiga aspek yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif.  Namun, kebijakan Ujian Nasional yang ditetapkan pemerintah, terkesan menganak-tirikan aspek afektif dan psikomotorik dengan mematok kelulusun melalui beberapa pelajaran tertentu yang lebih bertumpu pada kompetensi kognitif.
Selain itu, penekanan kompetensi kelulusan yang terbatas pada beberapa mata ujian tersebut, dianggap kontraproduktif terhadap pengembangan karakter siswa. Siswa tak lagi melihat ujian sebagai ujian ketangguhan mental, akan tetapi lebih cenderung sebagai momok yang mematikan kreativitas siswa itu sendiri.
Untuk itulah, diperlukan sebuah upaya serentak, konstruktif, dan menyeluruh untuk merevitalisasi  kurikulum nasional melalui hal-hal sebagai berikut :
  1. Sosialisasi KTSP Berbasis Pendidikan Karakter yang maksimal dan menyeluruh melalui berbagai pelatihan agar guru dan sekolah "siap" menjabarkan KTSP Berbasis Pendidikan Karakter secara kreatif.  Sosialisasi juga perlu diadakan di setiap sub-lembaga di bawah Depdikbud, agar tidak terjadi kesalahpahaman penerapan kebijakan kurikulum itu sendiri. Sosialisasi tersebut dibarengi dengan adanya evaluasi berkelanjutan, sehingga penerapan konsep kurikulum ini bisa teralisasi secara merata di setiap satuan pendidikan dasar dan menengah.
  2. Penambahan jam pembelajaran pada materi yang mendukung character building seperti PKn dan pelajaran agama dengan mengurangi proses pembelajaran teoritis. Fakta yang terjadi di lapangan, kedua mata pelajaran ini hanya dialokasikan  sebanyak 2 jam pembelajaran per minggu dalam struktur kurikulum, ditambah lagi bahwa kedua mata pelajaran tersebut hanya sebatas transfer pengetahuan teknis, tanpa menyentuh titik sentral moralitas siswa. Siswa seharusnya aktif berdiskusi masalah-masalah sosial yg terjadi dan mendapatkan suntikan motivasi untuk menjadi manusia berkarakter.  
  3. Sistem evaluasi akhir yang berbasis karakter. Evaluasi hendaknya tidak sebatas ujian tertulis semata, akan tetapi, perilaku dan etika keseharian seharusnya menjadi tolak ukur lulus-tidak lulusnya seorang peserta didik. Untuk itu, model Ujian Nasional perlu ditinjau ulang, sehingga output pendidikan tidak hanya berkompetensi pada aspek intelektualitas saja, tetapi juga memiliki kualitas karakter diri yang meliputi nilai moral dan spritual. Selain UN, evaluasi belajar lainnya seperti ulangan kenaikan kelas, ulangan semester, dan ulangan harian, tidak ditekankan pada penilaian hasil jawaban di atas kertas saja, melainkan juga pada sikap peserta didik selama proses pembelajaran seperti tingkat absensi di kelas, mental anti-menyontek selama ujian, dan sikap moral-spritual lainnya.

B.  Optimalisasi Pendidikan Karakter ke Dalam Budaya Sekolah

Di Jepang, nilai-nilai moral-spritual tidaklah diajarkan dalam satu bentuk mata pelajaran khusus, akan tetapi diintegrasikan ke dalam semua materi ajar apapun, termasuk materi sains. Menariknya lagi, meski norma-norma masyarakat Jepang erat kaitannya dengan agama Shinto atau Budha, namun pelajaran agama tidak didapati di sekolah-sekolah formal Jepang. Nilai-nilai agama maupun moral diterapkan dalam perilaku sehari-hari di setiap jenjang pendidikan, terutama di pendidikan dasar. Sistem pendidikan seperti ini dikenal dengan sebutan doutokukyouiku (http://keyanaku.blogspot.com/).
Menurut Mendikbud Muhammad Nuh, pendidikan tidak cukup jika hanya diajarkan melalui kurikulum. Untuk menanamkan nilai-nilai luhur, pendidikan harus membentuk sebuah tradisi dan budaya yang kelak menjadi bibit-bibit peradaban. Kebiasaan itu bisa dimulai dari hal-hal sederhana seperti budaya membuang sampah pada tempatnya, budaya pergaulan, dan sebagainya seperti yang berlaku di Jepang.
Optimalisasi nilai-nilai moral-spritual ke dalam budaya sekolah sangat urgen untuk mengatasi ketimpangan antara kualitas kognisi dengan aspek non-kognisi yang selama ini masih berlaku dalam sistem pembelajaran di Indonesia. Pembentukan budaya tersebut tentu harus dilakukan secara bersama-sama oleh semua warga sekolah, meliputi pendidik (guru, kepala sekolah), tenaga kependidikan, komite sekolah, dan peserta didik.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk membentuk nilai-nilai karakter sebagai sebuah budaya dalam lingkungan satuan pendidikan, diantaranya :
  1. Mengintegrasikan Pendidikan Karakter ke semua materi pembelajaran termasuk pelajaran IPA, sehingga tidak berpusat pada aspek kognitif saja.  Misalnya, penanaman motivasi untuk melestarikan bumi atau hikmah penciptaan semesta melalui pelajaran Biologi.
  2. Perubahan paradigma "Siswa Teladan". Jika selama ini pemilihan siswa teladan berangkat pada penilaian cognitive-based competition semata, sudah saatnya paradigma itu dihapuskan. Siswa teladan bukan saja siswa yang berprestasi dalam hal "juara kelas" dan semisalnya, akan tetapi, siswa yang berkarakter mandiri, taqwa, peka sosial, seharusnya mendapat apresiasi dan penilaian lebih.
  3. Pembenahan lingkungan belajar. Lingkungan yang sehat bukan saja memberikan stimulasi positif bagi proses transfer pengetahuan, tetapi juga memudahkan optimalisasi nilai-nilai luhur dalam lingkup pendidikan. Lingkungan sehat dapat dibentuk melalui budaya yang sehat pula. Seperti budaya sekolah anti-rokok, terlebih dahulu dimulai dari guru dan karyawan sebagai sosok teladan, lalu diikuti oleh semua warga sekolah.
  4. Penanaman nilai-nilai kejujuran dan kerja keras melalui “Kantin Kejujuran” atau “Koperasi Kejujuran” yang pengelolaannya dilakukan oleh peserta didik di sekolah. Pendidik dan tenaga kependidikan lainnya hanya berperan untuk memfasilitasi dan memotivasi pelaksanaannya.
  5. Mengembalikan fungsi fasilitas ibadah di lingkungan sekolah. Praktek shalat misalnya, harus mulai diterapkan di lingkungan sekolah, sehingga pelajaran agama tidak sekedar bernilai teoritis.
  6. Apresiasi pemerintah terhadap setiap jenjang dan satuan pendidikan yang berhasil menerapkan pendidikan berbasis kecerdasan komprehensif ini dengan memberikan penghargaan dalam berbagai bentuk, termasuk bantuan beasiswa bagi guru yang ingin meningkatkan kualitas akademiknya.
Pendidikan Karakter sejatinya merupakan sebuah solusi efektif atas berbagai problema dekadensi moral bangsa dewasa ini. Pendidikan Karakter diharapkan menjadi sebuah inovasi untuk mengembalikan "ruh" pendidikan yang selama ini mengalami distorsi, untuk menciptakan insan akademis yang cerdas intelektual, emosional, dan spritual. Bagaimanapun juga, karakter SDM yang kuat adalah modal peradaban bangsa yang unggul.
Namun, dibutuhkan kesadaran kolektif dan gerakan nasional serempak, agar spirit pendidikan yang selama ini terserabut bisa diutuhkan kembali. Reorientasi dan revitaslisasi KTSP dan Optimalisasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran, dapat terwujud jika pemerintah dan segenap stakeholder pendidikan mau menjadi sosok terdepan bersatu-padu dan berpartisipasi aktif mendukung tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Kalau bukan kita, lantas siapa lagi ?
Kalau bukan sekarang, lantas kapan lagi ?

(Diadaptasi dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar